portal berita hari ini yang terpercaya
Berita  

Perhubungan Antara Harakiri, Nek Minah, dan Tudingan Korupsi dalam Kementerian Kelautan dan Perikanan Aceh

Perhubungan Antara Harakiri, Nek Minah, dan Tudingan Korupsi dalam Kementerian Kelautan dan Perikanan Aceh

Dalam diskusi yang diadakan di LBH Banda Aceh, Senin sore (23/10/2023), seorang akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Syah Kuala, Khairil Akbar, menyebut nota kesepahaman yang diajukan sebagai pembenaran untuk menghentikan proses hukum kasus dugaan korupsi di tubuh KKR Aceh sebagai ‘cara licik sekaligus picik’ oleh instansi pemerintah yang bertujuan untuk mengibuli hak warga negara.

“Ikatan Identitas Kepolisian (IKK) Aceh itu kan ada regulasinya, yang adalah Keputusan Kapolri dan satu berkaitan dengan pembentukan satuan tugas. Nah, dalam ikatan itu sangat jelas. Jadi, kita jangan anggap gampang penyadapannya, silakan kita cari dan ajukan. Karena ini wilayahnya hukum materil dan hukum acara sebenarnya. Karena berada di wilayah itu dan dia pasti menyangkut dengan hak-hak kita, maka sebenarnya regulasi yang tepat itu hanya pada level undang-undang (UU Tipidkor). Bukan pada peraturan pemerintah atau bahkan sekadar MoU tadi. Mengapa saya bilang cara mengibuli karena itu tadi, di sanalah kemudian ketentuan-ketentuan tentang berapa yang akan ditindaklanjuti, berapa yang tidak, itu dituangkan,” jelas Khairil Akbar.

Ia tidak dapat membayangkan jika nantinya kultur seperti ini diteruskan, di mana setiap penyelesaian penyimpangan keuangan negara berakhir pada masing-masing level instansi pemerintah dengan mekanisme di luar hukum atau tanpa harus menyeret dugaan kasus korupsi itu ke ranah pengadilan sama sekali.

Keputusan kepolisian untuk menghentikan proses hukum kasus dugaan korupsi di tubuh KKR Aceh, yang menurut polisi tidak dilakukan secara sepihak, itu dipandang oleh Khairil Akbar bertolak belakang dengan prinsip penegakan hukum pidana atau hukum acara, bahwa aparat penegak hukum didesain untuk menindaklanjuti semua perkara, bukan malah menghentikan proses hukum yang sedang dilakukan. Penghentian hanya mungkin terjadi pada level penuntutan.

Selain itu, alasan berdasarkan ketentuan yang diatur di dalam nota kesepahaman yang menjadi pijakan Polresta Banda Aceh untuk tidak menindaklanjuti kasus ini, karena pemeriksaan atau penyelidikan yang berindikasi kerugian keuangan negara yang nilainya lebih kecil dari biaya penanganan perkara diberikan kesempatan untuk diselesaikan secara administratif paling lambat 60 hari, juga dipandang konyol oleh Khairil Akbar.

“Korupsi itu ada dendanya, dan kemudian pengembalian kerugian negara bisa diperoleh. Jadi, selain uang negara bisa kembali, misalnya kita anggap penangangan perkara korupsi 250 pengembalian kerugian negara 250 juga misalnya. Setimpal kita anggap, tetapi, kan, kita masih bisa denda dia?” ujar Khairil Akbar.

Sementara itu, Kepala Operasional LBH Banda Aceh, Muhammad Qodrat, melihat penghentian proses hukum pada tahapan penyelidikan oleh kepolisian ini malah terkesan akan kembali menjadi preseden buruk bagi khazanah penegakan hukum di Indonesia. Ia menilai adanya diskriminasi penegakan hukum yang telah menegaskan kembali adagium klasik bahwa ‘hukum tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas’.

Muhammad Qodrat mengingatkan kembali bagaimana Nek Minah, warga Banyumas, Jawa Tengah, divonis bersalah dengan dakwaan pencurian tiga buah kakao milik Perkebunan Rumpun Sari Antan (RSA). Perempuan yang saat itu berusia 55 tahun pada 2009 silam dijatuhi hukuman penjara 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan. Dengan kasus dugaan korupsi di tubuh KKR Aceh ini, perbedaanya sangat mencolok.

“Ketika yang kena orang miskin, habis-habisan, ketika yang kena pejabat, permisif,” ketus Muhammad Qodrat.

Muhammad Qodrat berkeyakinan pula bahwa tuntutan agar patuh terhadap hukum semestinya kewajiban yang utamanya ada pada pejabat publik baru kemudian masyarakat. Tetapi betapa menyedihkannya, pihak yang ditekankan untuk mematuhi hukum kini lebih diberatkan kepada rakyat, sementara pejabat cenderung dibiarkan.

Muhammad Qodrat meramalkan bahwa masa depan penegakan hukum terutama untuk kasus korupsi di Indonesia akan mengalami degradasi atau kemerosotan apabila aparat penegak hukum masih mengedepankan mekanisme penyelesaian berkaitan dengan dugaan penyimpangan keuangan negara di instansi pemerintah dengan nota kesepahaman antara Kemendagri, Kejaksaan, dan Kepolisian, yang ditandangani pada 2023, oleh M. Tito Karnavian, Burhanuddin, dan Listyo Sigit Prabowo.

“Ke depannya, kalau ada kasus-kasus serupa lainnya, polisi pasti tetap, ‘kami ada MoU’, hentikan saja. Dan saya pikir ini bukan kasus satu-satunya ke depan, selama MoU itu masih ada dan selama mereka mau memegang MoU itu, penegakan korupsi di Indonesia, dalam hal ini khususnya di Aceh itu akan terjadi impunitas,” Muhammad Qodrat menutup.

Pada diskusi tersebut juga dihadiri oleh Komisioner KKR Aceh, MY, yang ketika diminta untuk mengundurkan diri dari kepengurusan KKR Aceh, menyatakan bahwa dia dan para komisioner lainnya tidak mungkin meninggalkan lembaga tersebut dan tetap akan melaksanakan tugas hingga masa purna bhakti kelak. Ia juga menantang, jika benar terdapat pihak yang tidak puas dengan kinerja KKR Aceh yang saat ini ia pimpin, maka harus dibuktikan melalui survei. Tindakan tersebut mencerminkan sikap yang penuh keberanian.

Exit mobile version