Azizi melakukan langkah besar ini tidak terjadi begitu saja, cintanya terhadap lingkungan tumbuh sejak kecil. Lahir di Desa Perupuk, membuatnya menyadari pentingnya menjaga pesisir pantai.
Setelah lulus dari sekolah menengah pertama, Azizi melanjutkan pendidikan di SMK Dwi Warna, Medan. Pada tahun 1987, ia menyelesaikan pendidikan menengah kejuruan.
“Setelah lulus, saya bekerja secara tidak tetap. Mulai dari menjadi penjaga bus di terminal, menjadi pekerja terminal, hingga menjadi anak buah kapal penangkap ikan,” ungkapnya.
Kemudian, pada bulan Desember 1988, dia pindah ke Porsea. Di sana, Azizi bekerja untuk Inti Indorayon Utama (IIU) yang sekarang menjadi PT Toba Pulp Lestari.
“Saya bekerja di sana sampai tahun 2000. Saya bekerja di bidang reforestasi, melakukan penanaman eucalyptus. Saya juga pernah bekerja di bidang perencanaan,” kata Azizi.
Kembali ke desanya pada tahun 2000, Azizi memulai usaha budidaya udang windu. Waktu itu, tabungannya dari bekerja di Indorayon digunakan untuk beternak udang windu.
Namun, nasib buruk menimpa Azizi. Pada tahun 2001, terjadi penurunan harga udang secara drastis. “Di situlah saya mengalami kerugian hingga ratusan juta. Saya kembali ke titik nol,” katanya.
Bisnis merugi, Azizi mencoba untuk melepaskan diri dari tekanan mental. Ia berusaha keras untuk menghidupi istri dan anaknya. Caranya adalah dengan mencari kepiting di pinggir laut.
“Saya kembali lagi ke hutan untuk mencari kepiting, orang di sini menyebutnya tangkul,” ucapnya.
Ketika kembali ke hutan bakau, Azizi melihat kondisi yang mengkhawatirkan. Kayu bakau dan api-api ditebang untuk keperluan bangunan atau pembuatan kayu arang.
“Sebelumnya, ini disebut hutan bakau. Melihat kondisinya semakin memprihatinkan, saya mulai berpikir untuk menanam kembali,” ujarnya.
Dengan pengalaman bekerja di Indorayon dalam bidang penghijauan, Azizi menanam bakau. Namun, tidak mudah untuk mengembalikan pohon bakau dan api-api dengan pengetahuan yang terbatas. Hanya sekitar 100 pohon yang bisa tumbuh dari 1.000 pohon yang ditanam.
Belum lagi menghadapi penebangan liar oleh masyarakat sekitar maupun dari luar. Bahkan, ketika dia menanam bakau, orang menganggapnya gila.
“Saya diejek karena pergi mencari kepiting, lalu menanam bakau. Orang menganggap saya stres, hampir setahun saya dianggap gila karena menanam bakau,” tuturnya.
Alasan yang sangat mendasar bagi Azizi adalah kesadarannya sebagai warga pesisir dan setiap hari bersentuhan dengan laut sehingga perlu ada orang yang peduli terhadap lingkungan yang menurutnya sudah rusak.
Di sisi lain, Azizi juga melihat kehidupan ekonomi dan sosial, masyarakat pesisir pantai yang memprihatinkan. Mereka tidak mampu memanfaatkan potensi pesisir pantai tanpa merusaknya.
“Alasan mengapa saya mencintai pekerjaan ini adalah karena saya memiliki pengalaman bekerja di hutan. Selama belasan tahun, saya bolak-balik ke hutan dan timbul kecintaan saya pada hutan. Jadi, saya tidak hanya fokus pada uang dalam hutan ini, tapi saya berpikir uang akan mengikuti. Saya mengalir saja,” tuturnya.
Pemikiran ini menjadi pemicu bagi Azizi untuk melanjutkan pendidikan S1 jurusan Ilmu Hukum di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Muhammadiyah Asahan (STIHMA) Kisaran. Dia lulus pada tahun 2011. Azizi banyak terlibat dalam organisasi lingkungan dan lembaga advokasi.
“Jadi, kita adalah masyarakat biasa tetapi alam ini yang mengajarkan kita. Saya berprinsip bahwa ilmu itu ada di tengah masyarakat, dan ilmu itu ada di alam ini. Kita harus belajar dengan alam ini agar bisa mendapatkan ilmunya,” ungkapnya.