Teguh menyatakan bahwa lahan yang sudah ditanami tebu akan diberi batas waktu hingga satu tahun sampai selesai panen lalu diganti dengan tanaman lain seperti jagung dan kedelai. Tetapi dalam dua kali pertemuan baru-baru ini, ada sebagian aspirasi warga yang meminta batas waktu tiga tahun untuk dapat menanam tebu.
“Masih terus kita negosiasikan dan rundingkan lewat pertemuan, sementara ini kita akan menanam di lokasi yang tidak ada”, ujarnya.
Saidi, 72 tahun, dari Desa Cantel, Ngawi, sangat mendukung program rehabilitasi lahan dan hutan oleh pihak UGM. Terlebih program ini sudah disosialisasikan sejak dua tahun lalu.
“Memang sebelumnya kami sepakat sebelumnya pelaksanaan program, minimal dua tahun terlaksana sebaiknya disosialisasikan, supaya petani tahu persis. Di tempat kita sangat kondusif, ada yang tanam tebu tapi sedikit. Sebelumnya kita sudah beritahu,” ujarnya.
Saidi memilih budidaya jagung, sebab dengan menanam jagung ia bisa menjual sendiri hasil panennya. Dengan lahan kurang lebih satu hektar, ia bisa panen dua kali dalam setahun dengan sekali panen ia bisa mendapatkan uang sekitar Rp 20 an juta.
“Dibandingkan tebu, lebih enak jagung. Kami jual sendiri saja. Satu hektar bisa panen 5-6 ton,” ujarnya.
Sementara Istoni, 54 tahun, dari Desa Kalang, Pitu, Ngawi, mengaku sebagai petani sudah tahu jika ada larangan tanaman tebu di Kawasan hutan. Namun begitu beberapa petani tetap saja menanam tebu karena selama ini tidak ada hak kelola pesanggem dan lemahnya pengawasan setelah ada himbauan larangan menanam tanaman tebu di KHDTK.
“Lewat UGM ini sudah ada hak kelola yang jelas, sudah ada dasar-dasar hukumnya sehingga jika ada pelanggaran nanti ada sanksinya, jadi masyarakat pun paham hutan itu tidak boleh ditanam tebu,” katanya.
Istoni bercerita, menjadi petani pesanggem sudah dilakukan sejak turun temurun oleh kakek buyutnya. Namun begitu saat tanaman hutan sudah rindang, mereka harus berpindah lokasi yang masih kosong. Sedangkan hak kelola yang diberikan oleh pihak UGM mereka dapat mengelola sekitar 40 persen lahan yang difungsikan untuk tanaman pertanian.
“Biasanya dulu, jika sudah (hutan) rindang, tidak bisa ditanami. Sekarang ada pembagian lahan untuk tanaman hutan dan lahan pertanian,” ujarnya terkait rehabilitasi hutan oleh UGM ini.