Pada saat ini, ada anggapan bahwa Indonesia adalah negeri yang didirikan oleh para kutu buku. Tokoh-tokoh seperti Sukarno, Muhammad Hatta, Natsir, Agus Salim, dan Budi Oetomo merupakan para pembaca buku yang berkontribusi besar terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Namun, saat ini terjadi pergeseran perilaku di masyarakat terkait budaya literasi. Hal ini disebabkan oleh mahalnya harga kertas, sistem pendidikan yang masih terfokus pada nilai, kurangnya keteladanan orang tua dalam membiasakan tradisi membaca sejak dini, dan minimnya intervensi negara dalam mempromosikan budaya membaca. Hal ini berdampak pada rendahnya kualitas literasi yang dimiliki masyarakat.
Menurut akademisi Universitas Mathla’ul Anwar (UNMA), Eko Supriatno, kesadaran akan pentingnya literasi ini belum sepenuhnya terlihat di masyarakat. Banyak orang lebih memilih untuk malas membaca namun aktif di media sosial, sehingga Indonesia dikenal sebagai negara yang cerewet di dunia maya.
Untuk itu, paradigma perpustakaan juga harus berubah agar tetap menjadi bagian penting dalam pengembangan kualitas manusia unggul. Eko menekankan bahwa perpustakaan yang dikembangkan berbasis inklusi sosial akan bermanfaat bagi masyarakat.
Di kalangan perguruan tinggi, perpustakaan dianggap sebagai jantungnya. Pendayagunaan perpustakaan di perguruan tinggi berkontribusi sebagai sumber referensi dan riset. Wakil Rektor UNMA, Taryanto, mengatakan bahwa maraknya cyber space seharusnya dapat mendukung kreativitas mahasiswa.
Anggota Komisi X DPR RI, Iip Miftahul Choiri, menegaskan pentingnya untuk mahasiswa tidak hanya bergantung pada belajar melalui internet, tetapi juga memanfaatkan sumber-sumber referensi dari perpustakaan.