Angklung adalah alat musik tradisional dari Indonesia. Angklung terbuat dari bambu yang dibentuk dan dimainkan dengan digoyangkan atau digetarkan.
“Angklung ini awalnya diciptakan oleh petani untuk memikat Nyai Sri Pohaci/Dewi Sri (Dewi Kesuburan) untuk turun ke bumi dan menurunkan hujan agar tanaman padi tumbuh subur dan diberkati panen yang melimpah,” kata Supriyati.
Para petani memainkan angklung bersama-sama sebagai musik pengiring di lahan pertanian dalam ritual menanam padi. Karena hasil pertanian bagus, angklung juga dimainkan pada pesta panen sebagai ungkapan persembahan kepada Nyai Sri Pohaci (dewi kesuburan). Ini adalah ekspresi sukacita atas hasil panen mereka.
Eksplorasi angklung dan benih labu menjadi sebuah pertunjukan kolaborasi seniman Indonesia, seniman Jerman dan petani Jerman. Mereka bersama-sama saling terhubung dengan alam, semesta, ibu bumi dan Sang Pencipta.
“Disini ada penyatuan spirit tentang keberlanjutan hidup,” kata Supri.
Penciptaan angklung yang awalnya sebagai media doa kepada Dewi Kesuburan dan Ibu Bumi sebagai doa pengiring saat menanam padi, akhirnya menjadi media ekspresi rasa terimakasih atas panen buah labu. Ini juga ungkapan sukacita atas spirit kerja keras mereka dalam menjaga alam, memelihara tanaman pertanian untuk keberlanjutan hidup secara ekologi dan ekonomi.
Begitulah. Angklung bukan sekadar alat musik yang dimainkan dalam konser megah. Angklung mendapat pengakuan dari UNESCO dan publik Internasional. Namun sedikit publik Internasional memahami angklung dalam konteks budaya dan spiritual Indonesia yang agraris yang lekat dengan alam.
“Sekali lagi, angklung adalah getaran ekspresi jiwa dan doa petani untuk keberlanjutan hidup secara ekologi dan ekonomi,” kata Supriyati.
Dalam kolaborasi di Jerman ini, performance art melibatkan Supriyati (Indonesia), Eva Luna Warmuth, Viola Livera, Annette Roggatz, Regina Warmuth, Elisabet Wehler, Bernhard Schwark.