Gunung Marapi di Sumatera Barat telah menjadi sorotan publik karena bencana letusan yang memakan banyak korban jiwa. Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sumatera Barat, Ade Edward, menyatakan bahwa seharusnya bencana ini dianggap sebagai bencana nasional akibat dari kelalaian yang terjadi. Status waspada level II Gunung Marapi sejak Agustus 2011 seharusnya menjadi peringatan bahwa gunung ini dapat meletus kapan saja, namun Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat dinilai bertanggung jawab atas dampak korban jiwa dalam bencana ini.
Ade menjelaskan bahwa walaupun dilarang mendekati puncak gunung dalam radius 3 kilometer, BKSDA malah membukanya sebagai tempat wisata. Padahal, instansi yang berwenang dalam hal gunung api adalah Kementerian ESDM, yaitu PVMBG. Hal ini menunjukkan ketidakjelasan dalam mitigasi bencana yang dilakukan oleh pihak terkait. BKSDA dianggap melanggar ketentuan Undang-Undang Penanggulangan Bencana dengan mengelola Gunung Marapi sebagai tempat wisata alam.
Meskipun BKSDA telah melakukan diskusi sebelum membuka jalur pendakian Gunung Marapi sebagai Taman Wisata Alam (TWA), namun kondisi aktivitas gunung yang menurun pascaerupsi harus tetap menjadi perhatian utama. Status waspada level II harus diikuti dengan pembatasan dan upaya mitigasi risiko terhadap bencana erupsi. Meskipun demikian, BKSDA mengaku bahwa mereka tidak bisa membatasi gerak pengunjung di kawasan TWA. SOP yang diterapkan telah mengatur perjalanan pendakian sesuai dengan waktu dan keselamatan pengunjung.
Meski terdapat indikasi kelalaian dari BKSDA, mereka menyatakan bahwa semua proses pembukaan TWA telah melalui pertimbangan yang matang. Selain itu, imbauan untuk tidak mendekati kawah radius 3 kilometer juga diantisipasi dengan upaya mitigasi yang dilakukan pihak terkait. Itulah situasi terkini terkait Gunung Marapi di Sumatera Barat yang perlu menjadi perhatian semua pihak untuk menjaga keselamatan dan keamanan pengunjung.
