Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 7 Tahun 2024 tentang harga patokan terendah Benih Bening lobster (puerulus) menetapkan bahwa Harga Patokan Terendah (HPT) BBL bagi nelayan adalah sebesar Rp8.500 per ekor. Potensi penangkapan benur oleh kelompok nelayan yang memiliki nomor izin induk berusaha (NIB) mencapai sekitar 3 ribu orang, DKP Sukabumi berpendapat bahwa mereka dapat menjadi penyedia BBL dengan kualitas terbaik untuk budidaya baik lokal maupun internasional.
“Demand akan benih bening lobster ini sangat tinggi, sehingga sekarang nelayan yang sudah memiliki kerjasama dapat menjual benihnya ke Badan Layanan Usaha (BLU) Ditjen Perikanan Budidaya KKP,” jelas Padmoko.
Dia menuturkan bahwa target Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Sukabumi pada tahun 2020 adalah sebesar Rp700 juta, dimana Rp500 juta berasal dari hasil tangkapan BBL sebanyak 14 juta ekor.
Biaya dan peralatan untuk melaut dianggap lebih terjangkau daripada menangkap ikan, sehingga sebagian besar nelayan melihat peluang untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka melalui hasil tangkapan benur.
“Dengan kondisi alam dan sumber daya manusia yang sudah terlatih untuk menangkap benur ini, Sukabumi dapat menjadi saluran pasokan global untuk benih lobster untuk budidaya baik di dalam negeri maupun luar negeri,” ujarnya.
Salah seorang nelayan, Atta (44), merasakan dampak langsung dari hal tersebut. Dia mengaku dapat membiayai pendidikan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi dari hasil penjualan benur.
“Penghasilan dari benur lebih besar, karena kalau ikan dihitung per kilogram, sedangkan benur dihitung per ekor dan lebih menguntungkan. Ini bisa meningkatkan ekonomi, yang dulu tidak memiliki perahu sekarang memiliki perahu sendiri, karena pendapatan dari benur lebih sejahtera daripada menangkap ikan,” ungkap Atta.
Atta menjelaskan bahwa nelayan umumnya menggunakan dua metode untuk menangkap benur, yaitu dengan menanam jaring dan menggunakan obor di malam hari. Kedua metode ini memiliki tujuan yang sama, yaitu menggunakan cahaya untuk menarik benur masuk ke dalam perangkap.
“Jaring yang ditanam hanya menggunakan batu batre, sedangkan obor menggunakan genset yang dimasukkan ke dalam air jaring. Jika tidak menggunakan cahaya, benur tidak akan masuk ke dalam perangkap,” jelasnya.
Karena modal yang dikeluarkan relatif terjangkau dan hasilnya menguntungkan, Atta lebih memilih untuk melaut menangkap BBL dibanding menangkap ikan.
“Jika ada kesempatan, saya lebih memilih menangkap benur daripada ikan. Alat tangkapnya ringan dan konsumsi BBM-nya juga lebih hemat, bisa dilakukan oleh satu orang. Jadi lebih mudah dan fleksibel, berbeda dengan menangkap ikan,” tambahnya.