Catatan positif yang perlu disadari dalam tagar #KaburAjaDulu: Pertama, kesadaran kosmopolitan tidak berarti tidak cinta Indonesia. Justru dengan cinta Indonesia, maka hijrah adalah suatu keniscayaan agar citra orang Indonesia menggema di dunia. Hal inilah yang disebut “nasionalis-kosmopolitan”.
Pengalaman penulis di luar negeri, pekerja migran Indonesia sangat disukai karena rajin, disiplin, dan penurut dibandingkan pekerja dari India dan Cina. Citra ini harus dipertahankan sebagai branding pekerja Indonesia bertaraf internasional.
Kedua, lupakan nasionalisme sempit. Nasionalisme yang kini dipahami bangsa Indonesia adalah nasionalisme sempit seperti katak dalam tempurung. Nasionalisme yang harus dikembangkan adalah nasionalisme kosmopolitan, yakni semakin cinta terhadap bangsanya, maka semakin gigih bekerja di luar negeri untuk membanggakan bangsanya.
Menghidupi Indonesia dari luar negeri adalah pahlawan di era kebangkitan bangsa Asia di dunia. Anak bangsa Indonesia harus menjadi seorang nasionalis-kosmopolitan.
Ketiga, hijrah ke luar negeri untuk menunjukkan keunggulan bangsanya adalah keren. Apakah bangsa Indonesia bisa berpikir maju?
Fenomena Ainun Najib, seorang NU jago matematika yang berkibar namanya di Singapura adalah contoh keren anak bangsa Indonesia yang harusnya menjadi tauladan generasi muda Indonesia; Khoirul Anwar adalah penemu prinsip dasar 4G yang tinggal di Jepang; Ardistia Dwiasri adalah designer yang telah mendunia di Amerika; Damar Canggih Wicaksono adalah anak bintang film Dono Warkop yang tinggal di Jerman sebagai ahli nuklir; Mulyoto Pangestu adalah dosen di Australia sama halnya dosen ahli hukum, Nadirsyah Hosen (Gus Nadir), seorang sosiolog handal Ariel Heryanto, dan seorang ahli arsitektur colonial, Abidin Kusno di Canada. Mereka adalah suri tauladan yang harus diikuti generasi tagar #KaburAjaDulu.
Keempat, negara bangsa dan nasionalisme adalah produk modernitas. Kesadaran itu produk bangsa Eropa dengan kesadaran Eropa yang direproduksi terus sampai sekarang. Dunia kini masih dalam dominasi kesadaran Eropa sehingga ‘petak-petak sawah’ dunia adalah realitas Eropa bukan Asia. Bangsa Asia masih didominasi oleh kesadaran Eropa sehingga pemikirannya masih terjajah.
“Mangan ora mangan kumpul” adalah produk penjajah yang perlu didobrak dengan hijrah. Bangsa besar adalah bangsa yang ada di mana mana dan bermanfaat bagi sekitarnya. Jadi menjadi anak bangsa Indonesia harus berada di belahan dunia mana pun berkontribusi positif untuk sekitarnya. Anak bangsa Indonesia haruslah independent tahu akan dirinya sehingga percaya diri bisa hidup di mana saja.
Kebangkitan Asia yang digemakan Anwar Ibrahim, “Renaisans Asia” (1996) sudah terbukti. Menurut Kishore Mahbubani, “Asia adalah Hemisfer baru Dunia” (2008) dan bangsa Asia, termasuk Indonesia adalah penentu dunia.
Oleh sebab itu, anak muda Indonesia berhijrahlah! Bertebaranlah di muka bumi ini dalam perlombaan kebaikan. Maksimalkan potensimu jangan terkunggung di dalam Indonesia menjadi medioker. Hidup hidupilah Indonesia, tak perlu hidup di Indonesia.
Penulis: Musa Maliki PhD, Dosen Hubungan Internasional, UPN Veteran Jakarta .