Pimpinan Universitas Gadjah Mada telah memberlakukan sanksi pemecatan terhadap seorang guru besar di Fakultas Farmasi, EM, setelah terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap sejumlah mahasiswa. Sanksi berat tersebut diterapkan berdasarkan hasil pemeriksaan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) UGM yang menyimpulkan bahwa EM melanggar peraturan rektor dan kode etik dosen. EM telah diberhentikan dari jabatannya sesuai dengan peraturan kepegawaian yang berlaku. Keputusan pemecatan EM dibuat melalui Keputusan Rektor UGM Nomor 95/UN1.P/KPT/HUKOR/2025 pada 20 Januari 2025.
Dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh EM terjadi dari tahun 2023 hingga 2024 dan baru terungkap setelah adanya laporan ke Fakultas Farmasi pada bulan Juli 2024. Satgas PPKS UGM memberikan pendampingan kepada korban serta membentuk Komite Pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan lanjutan sesuai dengan Keputusan Rektor Nomor 750/UN1.P/KPT/HUKOR/2024. Melalui pemeriksaan tersebut, EM dinyatakan melanggar peraturan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus dan kode etik dosen.
Meskipun telah diberhentikan dari jabatan sebagai dosen UGM, status guru besar EM masih berada di bawah kewenangan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Proses pencabutan status guru besar juga harus dilakukan melalui keputusan menteri. Universitas Gadjah Mada menjelaskan bahwa jabatan akademik seperti guru besar merupakan kewenangan pusat, sedangkan lektor atau asisten ahli dapat ditetapkan oleh perguruan tinggi.
UGM berkomitmen untuk menciptakan lingkungan kampus yang bebas dari kekerasan seksual dengan langkah-langkah sistemik, termasuk pembentukan Satgas PPKS sejak September 2022 dan integrasi kebijakan internal dengan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021. Prinsip utama yang dipegang adalah bahwa kampus idealnya adalah tempat yang kondusif dan aman dari segala bentuk kekerasan.