Pemakzulan bukanlah hal yang bisa dilakukan secara sembarangan di Indonesia. Proses ini sebenarnya telah diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Presiden atau wakil presiden, sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi, dapat diberhentikan dari jabatannya, tetapi harus melalui mekanisme yang ketat dan berlapis. Ini dimulai dari usulan di DPR, pemeriksaan oleh Mahkamah Konstitusi, hingga keputusan akhir di MPR.
Mekanisme pemakzulan presiden atau wakil presiden sesuai dengan UUD 1945 dimulai dengan usulan pemberhentian oleh DPR kepada MPR. DPR kemudian meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa apakah telah terjadi pelanggaran hukum atau ketentuan konstitusi yang cukup serius. MK kemudian akan memberikan putusan atas pendapat DPR setelah waktu penyelidikan selama maksimal 90 hari.
Bila MK menyatakan adanya pelanggaran, maka DPR akan menggelar sidang paripurna untuk melanjutkan usulan pemberhentian kepada MPR. MPR akan mengambil keputusan dalam waktu maksimal 30 hari setelah menerima usulan tersebut. Keputusan pemakzulan hanya dapat diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh minimal tiga perempat dari total anggota, dan disetujui oleh dua pertiga dari anggota yang hadir.
Pada akhirnya, pemberhentian presiden atau wakil presiden merupakan kewenangan MPR, namun melibatkan DPR dan MK sebagai bagian dari mekanisme yang telah ditetapkan. Proses ini menunjukkan bahwa pemakzulan tidak bisa dilakukan secara sembarangan, melainkan harus melalui tahapan hukum dan konstitusional yang ketat.