Ngertakeun Bumi Lamba 2025 di Gunung Tangkuban Parahu: Seruan Sakral dari Lintas Adat dan Tokoh Bangsa untuk Bumi

Di kaki Gunung Tangkuban Parahu, pagi itu masyarakat dari berbagai penjuru nusantara berkumpul dalam balutan busana adat: Sunda, Bali, Dayak, Minahasa, dan ragam budaya lain. Mereka hadir untuk mengikuti ritual tahunan Ngertakeun Bumi Lamba, sebuah upacara yang setiap tahun digelar dengan tujuan memperkuat kesadaran akan pentingnya hubungan harmonis antara manusia dengan alam semesta.

Karinding suara lembut dari Baduy mengalun, melebur bersama irama angklung dan denting tetabuhan Minahasa, menciptakan harmoni yang dirasakan lebih dalam oleh setiap hadirin daripada sekadar didengar. Musik yang bukan sekadar lagu, melainkan pancaran rasa syukur, cinta, dan rindu pada leluhur serta cinta bumi. Tak ketinggalan, suara mantra lintas adat serta bunyi genta para sulinggih Bali berpadu sempurna membangkitkan perasaan haru dan kekaguman.

Ngertakeun Bumi Lamba menjadi ruang di mana menekankan kembali bahwa kasih sayang harus melingkupi tak hanya antar manusia, namun juga seluruh makhluk ciptaan. Bukan waktunya lagi manusia memperhitungkan kebaikan pada bumi; seperti pesannya, jika bumi mulai menghitung, penyesalanlah yang datang.

Dalam setiap fase ritual, dari penyucian energi, doa, hingga prosesi ngalung di Kawah Ratu, terpatri pesan mendalam bahwa manusia kecil di hadapan semesta. Panglima dari Dayak dan Minahasa, serta para guru spiritual dan budayawan, duduk sejajar memberikan ikrar suci untuk menjaga kehidupan bersama. Pekik Taariu dari Dayak merobek keheningan, mengukuhkan janji pada leluhur dan bumi semesta: merawat, menjaga, dan membina cinta—tak sekadar berbicara, tapi bertindak nyata memenuhi pesan nenek moyang.

Semangat tersebut bukan hanya simbolis. Andy Utama, Yayasan Paseban, serta Arista Montana menjiwai nilai kesatuan dan kekuatan dalam keberagaman, menggandeng generasi muda agar berakar pada nilai luhur dan cinta tanah air. Bagi mereka, tiga gunung keramat (Tangkuban Parahu, Wayang, dan Gede Pangrango) adalah penjaga keseimbangan ekosistem dan spiritual, seperti diingatkan pula Dody Baduy: pegunungan tak boleh dilebur, lembah jangan dirusak.

Di akhir upacara, ruh Ngertakeun Bumi Lamba tetap menyala dalam dada setiap peserta—energi memupuk langkah ke depan, bukan sekadar nostalgia, semangatnya harus mengalir dalam setiap aksi sehari-hari sebagai bentuk kasih dan penghormatan kepada bumi.

Setiap individu yang hadir dalam acara tersebut, membawa pulang amanah besar untuk dirawat bersama oleh para pegiat adat. Mereka menyambung gelombang doa dan cinta dari karinding, mantra, hingga langkah hening lintas agama dan suku, memastikan bumi tetap terjaga lewat tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Ngertakeun Bumi Lamba bukan hanya upacara, melainkan ikrar hidup untuk bumi lestari selamanya.

Sumber: Ngertakeun Bumi Lamba: Menganyam Cinta Kasih Nusantara Di Tubuh Semesta
Sumber: Ngertakeun Bumi Lamba: Upacara Adat Nusantara Untuk Cinta Kasih Semesta Dan Pelestarian Alam

Exit mobile version