Sesaji atau sajen masih merupakan stigma di masyarakat. Bahkan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan sesaji atau sajen sebagai makanan untuk makhluk halus.
“Stigma muncul karena kurangnya literasi tentang sesaji,” kata Hangno Hartono, seorang pegiat budaya Jawa, dalam acara sarasehan sesaji di Omah Budaya Kahangnan Bantul pada Selasa (27/5/2024).
Secara umum, sajen dapat diklasifikasikan melalui dua pendekatan, yaitu simbol dan presensi. Misalnya, tumpeng sebagai simbol ketuhanan diartikan sebagai tumuju ing pangeran atau ingkung ayam diartikan sikap manekung, dan sebagainya.
Sementara itu, sebagai presensi berarti menghadirkan energi kosmis dalam setiap prosesi ritual. Dalam hal ini, tumpeng dianggap sebagai representasi energi gunung berapi.
“Pengetahuan ini didasarkan pada kata sesaji atau ji yang berarti energi, yang artinya prosesi aneka pernik sesaji pada hakikatnya menghadirkan kekuatan alam,” ujar Hangno Hartono.
Literasi sesaji juga memperkenalkan kekayaan flora dan fauna karena dalam berbagai topik sesaji disajikan berbagai produk yang berbeda lengkap dengan kedalaman filosofis dalam memahami bentuk dan narasinya.
Dalam diskusi yang melibatkan seniman dan praktisi budaya Jawa seperti Eko Hendi dan Satriya Anggang Saputra, serta Yayasan Kapuk Salamba Arga Aini, juga membahas perbedaan antara sajen dan tumbal. Perbedaannya, sajen berfokus pada pembersihan diri, sementara tumbal berfokus pada kekayaan.
“Kita akan terus mengadakan literasi-litasi tentang sesaji atau sajen ini untuk membahas masalah sesaji dalam ranah ilmu pengetahuan,” kata Hangno.
Rencananya, sesaji atau sajen akan diajukan ke UNESCO sebagai warisan dunia seperti batik, wayang, atau keris.